Menjadi Tua Dan Menyebalkan

Menjadi Tua Dan Menyebalkan

 Sebuah fakta yang tidak bisa kita hindari adalah menjalani kehidupan dalam satu perjalanan satu arah tanpa ada jalan kembali. 


Kita dilahirkan, beradaptasi dan menjalani kehidupan dan menjadi tua dan menyebalkan. Lalu sebenarnya apa menariknya hidup ini jika kita tau akhirnya dan sudah ada begitu banyak yang mengalami dan kita hanya akan berakhir seperti mereka ? 

Apa yang lebih menyebalkan dari sebuah kisah yang kita sudah tahu endingnya ? Apa yang bisa dinikmati jika pada akhirnya kita sudah tau menjadi apa ? 

Karena hal ini sudah seharusnya dan sudah menjadi kelumrahan, mungkin tidak sedikit orang yang tidak peduli pada hal ini dan bahkan tidak pernah sekalipun terbersit pikiran ini dalam hidupnya. Karena ya memang apa yang ada ya begitu ya sudah tidak perlu lagi dipikirkan. Toh dipikirkan atau tidak tidak akan memberikan dampak apapun. Semua akan berjalan seperti seharusnya begitu. 

Tapi pertanyaannya adalah apakah itu adalah sebuah keharusan ? 

Jika kita beranggapan bahwa sudah ada yang atur dan memang sudah seharusnya begitu dari sananya, ya jawabannya iya apalagi mengingat bahwa budaya kita adalah berkewajiban dalam beragama atau memiliki keimanan tertentu. Maka sudah pasti hal itu sudah keluar dari ranah “Hal yang perlu dipikirkan”.

Tapi jika kita kembali ke ranah biologis yang mana semua hal di bumi ini adalah hasil dari sebuah sebab, maka jika kita mengubah sebab, maka hasilnya akan berbeda. 

Misal saja, DNA kita makhluk bumi tanpa terkecuali adalah hasil dari kombinasi rumit yang sampai saat ini masih belum selesai dipetakan, dan kita mengubah strukturnya menjadi sesuatu yang belum pernah ada dalam hal ini merujuk pada kehidupan sel dan yang meliputinya, maka dengan begitu kita bisa memanipulasi “sebab” dan akan mendapatkan hasil yang berbeda. 

Misal saja, jika dalam DNA kita memang tercatat adanya siklus yang kemudian akan menemui titik akhir dan kita mengubahnya, maka tidak ada lagi akhir dari perjalanan sel tersebut dan dengan begitu tidak ada lagi akhir dari kehidupan. 

Dan pada akhirnya hal itu lah yang akan mengakhiri kehidupan karena over populasi dan masif nya kerusakan yang lebih cepat. Lah malah jadi paradox ? 

Dan pada akhirnya disimpulkan bahwa ya memang seharusnya begitu, biarkan sel kita menua dan kemudian menyebalkan sampai mati daripada susah payah mempertahankan kehidupan yang justru akan membunuh kita. Toh pada akhirnya sama-sama mati juga. Lah. 

Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak mudah menjadi tua dan menyebalkan pun tidak begitu sulit dicerna. 

Seiring bertambahnya usia, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada begitu banyak hal yang hadir bertubi-tubi disertai perasaan yang menyelimutinya dan semua itu jika dipikirkan akan menjadi menyebalkan. Belum lagi kondisi lingkungan atau apapun itu yang turut menyertai dan menggiring ke arah yang seringkali tidak menyenangkan. 

Pada akhirnya merujuk pada satu kata yakni menyebalkan. 

Dan rupanya perasaan ini tidak hanya dialami oleh si yang bersangkutan dalam hal ini si “tua” melainkan pihak lain pun ikut sebal atas menyebalkannya kehidupan si “tua” ini. 

Fakta yang harus dihadapi sesaat menjadi tua adalah ada begitu banyak hal yang kemudian menuntut untuk dipertanggungjawabkan dan menuntut untuk selalu dilibatkan dalam segala hal. 

Semakin bertambahnya usia, maka semakin banyak hal yang harus diurus dan dipertanggungjawabkan dengan beban moral pun yang terus bertambah seiring dengan beban sosial yang tidak mau ketinggalan. 

Ya tapi menyebalkannya adalah, kembali lagi… semua itu sudah seharusnya terjadi dan tidak ada jalan keluar lain untuk mengatasi ini. 

Yang terpenting adalah… ya kita menua dan hal itu cukup menyebalkan. 

Apakah hal itu muncul karena kita tidak siap atau tidak rela ? 

Sayangnya hidup bukan soal siap dan tidak siap atau rela ataupun tidak, apalagi soal suka dan tidak suka. 

Singkirkan semua itu dan biasakanlah.