Kitab Suci & Sejarah

Kitab Suci & Sejarah

Disclaimer : Tulisan ini mungkin membahas hal yang cenderung sensitif bagi sebagian makhluk, mungkin termasuk anda. Sikahkan baca dari awal hingga akhir.

Beberapa waktu lalu saya pernah berdiskusi panjang dengan salah seorang rekan di media sosial mengenai satu topik yang saya pikir berkaitan dengan sejarah. 

Sejarah menurut bahasa merupakan peristiwa yang berhubungan dengan manusia, yaitu menyangkut perubahan yang nyata dan benar-benar terjadi dan berkaitan dengan silsilah dalam kehidupan manusia. 

Dengan begitu, mempelajari sejarah merupakan suatu langkah dalam mencari solusi dari suatu masalah yang pernah terjadi di masa lalu. 

Lalu bagaimana jika sejarah telah diubah ? Baik alur cerita, tokoh, setting tempat dan waktu ?

Bagaimana kita akan mempelajari dan menemukan solusi yang tepat jika belajar dari sesuatu yang tidak benar ?

Ini yang kemudian menjadi bahasan saya kala itu yang kemudian berujung dengan pembelokan paham dengan penyangkalan bahwa "Kitab suci bukanlah kitab sejarah."

Setidaknya itu yang diucapkan rekan saya dalam sesi akhir diskusi, yang sekaligus membuat saya kemudian mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya ... Apa yang sedang terjadi disini ? Setelah perbincangan panjang lebar kemudian berakhir dengan penyangkalan sepihak yang begitu dramatis... ? 

Mengapa demikian ?

Semua diskusi ini berawal dari pembahasan mengenai peristiwa pengorbanan anak manusia yang kemudian digantikan domba. Peristiwa ini termuat setidaknya dalam dua kitab suci yang cukup populer bahkan mungkin paling populer di bumi dimana di dalamnya membuat satu kisah yang sama dengan latar yang sama, namun rupanya menggunakan tokoh yang berbeda. 

Baik, saya meyakini bahwa sama-sama dari kita (saya dan rekan) kala itu sepakat bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi di masa lampau. Alias bukan sebuah novel atau karangan fiksi belaka atau malah cerita rakyat yang jelas tidak ada sumbernya. 

Karena saya berpikir demikian, maka terjadilah pembahasan yang lebih berfokus pada perbedaan tokoh pelaku dalam alur cerita tersebut yang lagi-lagi saya tekankan bahwa kita sepakat cerita itu benar-benar kejadian nyata. 

Antara Ismail dan Ishak

Betul, rangkaian cerita yang saya dan rekan diskusikan kala itu adalah mengenai cerita pengorbanan yang hingga sekarang diperingati oleh salah satu kaum beragama. Yang dimana disana rupanya ada dua keyakinan yang berbeda, satu pihak meyakini Ishak adalah pemeran dalam cerita tersebut, sementara yang lain meyakini Ismail adalah tokoh utama dalam cerita tersebut.

Lagi-lagi, karena menurut saya kala itu semua alur cerita ini merupakan sejarah, maka rujukan saya adalah naskah tertua diantara keduanya yang terlebih menulis cerita lengkap dari peristiwa ini. 

Betul, naskah ini sudah termuat dalam Alkitab yang hingga kini masih dipelajari oleh banyak orang. 

Namun tidak dengan rekan saya yang lebih memilih untuk bertahan dengan keyakinan. Tidak beserta rujukan. Kenapa saya menyebut tanpa rujukan ? 

Saya sempat menanyakan apakah beliau ini sudah melihat sumber lain untuk menguatkan keyakinannya atau belum, dan beliau menjawab dengan bahasa yang kurang jelas yang mengindikasikan bahwa hal tersebut tentu bertentangan dengan keyakinannya. Serta memang dilarang dalam ajarannya untuk melihat rujukan yang saya maksud. 

Baik, dalam hal ini saya mulai bertanya mengenai logika, pada diri sendiri.

Keyakinan

Rekan saya ini beberapa kali menyebut bahwa keyakinan adalah pondasi tertinggi dalam berargumen dalam diskusi ini, dimana semua materi yang ia sampaikan merupakan sebuah materi yang sudah disepakati untuk dipercaya kemudian diyakini. 

Disni pun saya merasa heran dengan peran logika dalam pikirannya. Bagaimana sebuah keyakinan hanya berdasar kesepakatan ? Apalagi jika menyangkut dengan sejarah, bagaimana bisa sejarah disepakati ?

Dalam kasus ini saya sampai menjelaskan tentang apa dan bagaimana sejarah bekerja. Saya contohkan, sejarah terdekat yakni sejarah bangsa Indonesia dimana semua materinya sudah kita baca di bangku sekolah meskipuun tidak semua karena materi sejarah memang sering membuat ngantuk. Tapi setidaknya kita mengerti bahwa sejarah Indonesia merupakan latar belakang yang membentuk negara ini hingga sekarang. Sebuah rangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi dan membentuk kepribadian bangsa ini. 

Sebuah peristiwa yang patut untuk dikenang dan dipelajari. 

Lalu bagaimana jika kita sepakat bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda dan justru Indonesia mempekerjakan orang-orang Belanda untuk membangun Indonesia ? Karena kita butuh tenaga kerja yang kompeten, maka kita (Indonesia) meng-impor warga Belanda untuk jadi kuli. 

Apa yang kemudian kita pelajari dari masa lalu Indonesia ? 

Sudah pasti anggapan kita akan keliru bukan ? Mengingat sejarah kelam Indonesia yang ratusan tahun dijajah oleh beberapa negara yang saling berlomba untuk merampas rempah-rempah ?

Ataukah, sejarah kelam Indonesia hanyalah akal-akalan penjajah menulis sejarah hanya untuk merendahkan Indonesia atau karena memiliki kepentingan lain dan sebenarnya yang terjadi adalah kesepakatan kita diatas bahwa Indonesia meng-impor warga luar negeri untuk dipekerjakan ?


Itulah yang terjadi dalam kasus diskusi saya kala itu. Bahwa kesepakatan adalah kebenaran dan yang (mungkin) benar hanyalah akal-akalan.

Sudut Pandang

Sudut pandang sejarah bisa berbeda jika ditulis oleh banyak orang. Itu pula yang rekan saya ucapkan. 

Saya contohkan, ada kasus tangkap tangan korupsi yang dilakukan oleh salah satu politikus misalnya, kemudian banyak sekali wartawan yang meliput kasus tersebut dengan mendatangi yang bersangkutan atau ke kantor polisi. Mungkin, informasi yang diterima masing-masing wartawan tidak lengkap karena mungkin hanya menerima sepotong-sepotong, namun seharusnya tidak salah dalam mencatat nama tokoh pelaku. Karena jika terjadi kesalahan mencatat nama pelaku, berita yang disampaikan menjadi teramat sangat tidak valid. 

Rekan saya mengatakan bahwa perbedaan nama tokoh ini menjadi mungkin karena sudut pandang si penulis dan alih bahasa penulisan. 

Jika ini merupakan sejarah, maka tidak ada kasusnya disesuaikan dengan penulis, karena sejarah bukan tertulis namun tercatat. Mungkin sedikit mirip dan bahkan nyaris memiliki arti yang sama, namun sangat berbeda artinya. 

- Menulis merupakan proses menciptakan karya yang orisinil dan/atau merevisi karya lama menjadi karya yang baru dan lengkap. Misal menulis buku, menulis artikel.

- Mencatat adalah suatu proses menuliskan ulang rangkuman dan/atau bagian-bagian penting dari suatu materi. mencatat keuangan, mencatat pelajaran.

Dalam kasus diskusi saya dengan rekan saya, beliau mengkategorikan bahwa sejarah merupakan sebuah naskah yang ciptakan oleh penulis dan sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh sudut pandang yang penulis. Sehingga seolah mendefinisikan bahwa sejarah bukanlah peristiwa yang nyata terjadi melainkan sebuah karya tulis atau kita sebut saja Novel.

Rentang Waktu

Seperti contoh yang saya bahas diatas dimana beberapa wartawan dari stasiun televisi berbeda meliput sebuah kasus tangkap tangan, dimana hal tersebut terjadi dalam satu waktu. Bisakah terjadi kesalahan dalam penulisan nama tokoh ? Bisa, namun seharusnya tidak terjadi. 

Karena biar gimanapun, kasus ini akan jadi sejarah. Bukan naskah novel. Dan sudah barang tentu berita yang dimuat bukanlah sesuai dari sudut pandang peliput yang menulis naskah berita. Betul, meskipun mereka mencatat runtut kejadian sebagai sumber berita, namun mereka harus menulis naskah untuk dibacakan dengan tata kata yang menarik dan mudah dipahami. Menulis berdasar sumber catatan, dengan catatan yang bersumber dari peristiwa yang benar-benar terjadi.

Baik, sampai disini kita melihat satu kemungkinan tambahan bahwa penulisan naskah sejarah bisa jadi berasal dari catatan peristiwa yang bersumber dari suatu kejadian. Dan kemudian disinilah peran sudut pandang penulis mengatur alur cerita supaya lebih menarik. Dan dalam hal ini ada kemungkinan untuk mengubah tokoh-tokoh yang berperan dalam suatu peristiwa. Haruskah ?

Sebenarnya, jika memang tujuannya hanya ingin menyampaikan apa yang benar-benar terjadi dalam sebuah peristiwa, mengubah nama tokoh sama sekali tidak diperlukan.

Lalu bagaimana jika penulisan ulang ini memiliki rentang waktu yang cukup lama dengan naskah yang sudah terbit terlebih dulu ? Akankah perubahan tokoh pemain menjadi wajar ?

Dalam kasus ini kita kembalikan ke point Mencatat dimana menuliskan ulang hanyalah menuliskan kembali naskah lama dengan mengambil bagian-bagian yang penting. Tentu tanpa mengubah nilai dari materi tersebut. Apalagi perubahan tokoh dalam cerita karena hal itu bisa membuat pembelokan alur cerita dikarenakan perbedaan karakter si pemain. Dan bukankah itu masuk akal ?

Lalu apakah naskah yang sudah terlebih dulu terbit merupakan naskah yang lebih valid ?

Jika melihat tujuannya hanya mencatat peristiwa yang tidak ditumpangi kepentingan atau dipengaruhi sudut pandang, mungkin masih dibutuhkan revisi, namun hanya pada susunan kalimat, penggunaan kata atau ejaan yang lebih baru, bukan perubahan pada struktur cerita atau malah merubah tokoh pemain. Betul ?

Saya anggap anda sependapat, jika tidak, silahkan baca ulang atau tinggalkan halaman ini sekarang juga. Saya tidak ingin lebih banyak waktu anda terbuang.


Lalu bagaimana jika dengan rentang penulisan ulang yang terpaut ratusan tahun kemudian terjadi perubahan tokoh pemeran ? 

Adanya kepentingan disini jelas sekali terlihat, pengaruh sudut pandang bermain penuh dan mungkin memang memiliki tujuan tertentu hingga kemudian menulis ulang naskah lama.

Silahkan dipikirkan dengan logika. 

Kitab

Dan disini semua terungkap. Tidak ada penyebutan nama tokoh dalam kita suci yang baru, yang mana sudah disebutkan beberapa kali di kitab terdahulu dengan runtut yang panjang mengenai siapa-siapa saja yang bermain dalam alur cerita tersebut. Bahkan siapa yang tidak dimungkinkan untuk bermain dalam cerita itu pun tercatat. 

Dan di naskah lama, tentu tidak ada seharusnya dipengarhui oleh naskah salinan yang berjarak ratusan tahun bukan ? 

Dan karena tidak tercatat, maka kemudian menjadi berbelok. Dalam hal ini ada kepentingan yang bermain. Siapa ? Oknum.

Sudah seharusnya kitab (suci) mencatat kebenaran dan memang itu yang terjadi, namun penyalahgunaan ini terjadi pada proses alih bahasa dan pemahaman.  Dari Ishak menjadi Ismail tentu sangat jauh berlawanan. Dan dengan perbedaan tokoh tersebut, maka pesan yang disampaikan pun akan berbeda. Pelajaran yang diambil pun berbeda. Itulah mengapa dalam dua agama besar tersebut terjadi perbedaan dalam memahami dan mengaplikasikan makna dari kisah tersebut hingga sekarang.

Hikmah yang diambil pun akan berbeda. Kisah teladannya pun akan menjadi tidak sama. Solusi yang bisa dipelajari dari kisah tersebut tidak lagi sama. Semua menjadi berbeda. Dan keduanya saling merasa benar.

Dan keduanya pula mengatakan bahwa Kitab Suci Bukanlah Kitab Sejarah. 

Jadi setelah pembahasan panjang ini kemudian kesalahan itu rupanya tidak terjadi pada kitab suci, proses alih bahasa maupun keyakinan yang mengikutinya. Melainkan pemahaman yang menganggap bahwa peristiwa yang tertulis dalam kitab suci adalah sejarah. Itulah kesalahannya. 

Sehingga kemudian saya pun bingung, apa yang sebenarnya terjadi disini ?

Lalu jika kitab suci bukanlah kitab sejarah, yang termuat disana bukan sejarah ?

Tidak, bukan begitu.

Naskah tersebut memang sejarah yang terjadi di masa lampau, namun kitab suci ini tidak berfokus pada struktur dan alur cerita dalam peristiwa tersebut melainkan lebih berfokus pada hikmah yang kemudian bisa dipelajari.

Oke, Pernyataan saya kembali lagi. Bahwasanya, tokoh yang tidak benar akan mengakibatkan pembelokan karakter dan nilai cerita atau peristiwa, sehingga hikmah dan/atau pelajaran yang diambil pun akan berbeda. 

Memepelajari naskah yang salah, akan menghasilkan hikmah yang salah. Meskipun mereka bukan kitab sejarah, namun yang tertuilis di dalamnya merupakan sejarah, sehingga hikmah nya pun harus berdasar sejarah yang valid, bukan sejarah yang diambil dari kesepakatan. 

Sampai disini anda bingung ?

Sama, saya juga bingung mengenai pola pikir para penganut kitab yang mereka sebut suci. Bagaiamana keyakinan muncul tanpa dilandasi logika, dan bagaimana keyakinan bisa dipertahankan jika tidak memiliki dasar bahkan referensi ? 

Dan bagaimana bisa informasi yang tidak diketahui kevalidannya bisa diyakini ?

Itukah yang terjadi jika beragama ? meinggalkan logika dan nurani asal yakin ?

"Yang penting yakin".